Garut
Menjelang sidang antara warga Garut melawan Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dan Kejaksaan Negeri Garut di Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung (PTUN), Penggugat tengah mempersiapkan saksi.
Untuk persidangan besok, Rabu 11 September 2024 agendanya adalah pemeriksaan saksi setelah minggu lalu para Tergugat menyampaikan bukti-bukti. Namun dari bukti yang disampaikan, sama sekali kurang relevan dengan objek gugatan. Karena bukti yang disajikan adalah aturan dan surat dari Penggugat.
Adapun saksi yang Penggugat akan hadirkan berjumlah 2 (dua) orang, dan informasinya kemarin Kejaksaan Negeri Garut juga akan menghadirkan saksi 2 orang. Kita uji saksi-saksi ini nanti dihadapan hakim kebenarannya.
Contohnya Tergugat 1 yaitu Kejaksaan Negeri Garut menyampaikan bukti surat pengaduan Penggugat salinan nota dinas, putusan Praperadilan, peraturan perundang-undangan, danada hasil telaahan yang tidak sesuai dengan aslinya dan Penggugat tolak bila dijadikan dan diterima menjadi bukti. Lalu Tergugat 2 yaitu Kejaksaan Tinggi Jawa Barat mengajukan peraturan perundang-undangan saja dan mengaku sudah ada tindakan faktual.
Dari bukti-bukti yang disodorkan, kenapa saya sebut tidak ada relevansinya dengan objek gugatan, karena yang saya gugat adalah tindakan faktual pengambilan putusan pimpinan oleh Tergugat 1 dalam hal ini oleh Kepala Kejaksaan Negeri Garut terhadap penanganan kasus dugaan Tindak Pidana Korupsi Joging Track dan lainnya. Karena kewajiban itu ditegaskan oleh Pasal 5 ayat (4) Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : PER-017/A/JA/07/2014 tentang Perubahan PER-039/A/JA/10/2010 tentang Tata Kelola Administrasi Dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus, yang menyebutkan “setelah habis masa perpanjangan ke-2 (kedua) sebagaimana dimaksud ayat (2), penyelidikan harus dianggap selesai dengan Putusan Dari Pimpinan”.
Sebenarnya sederhana, diantaranya Kejaksaan Negeri Garut pada jawabannya halaman 7 poin a menyebutkan menyebutkan halaman 7 poin a yang menyebutkan ”terkait laporan dugaan tindak pidana korupsi pada inspektorat Daerah Kabupaten Garut sebagaimana surat pengaduan nomor 143/IV/Masyarakat-Garut/2021; bahwa terkait laporan ini, tergugat 1 telah membuat telaahan, dengan hasil laporan dugaan tipikor tidak ada kaitannya dengan Tipikor, kan tinggal buktikan telaahan tersebut, jangan asal bicara tidak ada kaitannya buktkan donk. Jangan mentang-mentang memliki kewenangan dalam kekuasaan penegakan hukum membuat telaahan sembarangan, lalu kapan menyampaikan informasi tersebut kepada Penggugat selaku pelapor, kan aneh.
Terus bukti juga ada yang tida sama dengan aslinya, masa sebagian teks atau paragraf ditutupi. Pada persidangan ini, kita menerapkan hkum acara PTUN dan Perdata, dimana bukti harus ada nasegel (dibubuhi materai cukup) dan ditandatangani petugas Pos, karena pembuktian ini adalah pembuktian formil, jadi surat harus sesuai dengan aslinya atau harus sama sebagaimana disebutkan Pasal 1888 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Selanjutnya dicocokan dengan aslinya apakah sama atau tdak isinya, kalau tidak sama izinya jelas tidak bisa. Hal tersebut sejalan dengan Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 701 K/Sip/1974 tanggal 14 April 1976 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2191 K/Pdt/2000 tanggal 14 Maret 2001 yang pada intinya mengatakan dalam mengajukan fotokopi surat-surat sebagai alat bukti di dalam persidangan gugatan perdata di Pengadilan harus dinyatakan telah sesuai (dicocokkan) dengan aslinya. Bila tidak demikian, maka bukti surat berupa fotokopi tersebut merupakan alat bukti yang tidak sah dalam persidangan.
Jadi pada intinya, besok kita akan membedah dan membuka kebenaran formil tindakan faktual Kejaksaan di PTUN Bandung, jangan hanya Kejaksaan Negeri Garut menulis narasi tanpa bukti, begitupun Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dan kejaksaan Agung rI, seharusnya membuktikan adanya pemberian surat teguran dan sanksi. Ingat ya fungsi pengawasan di Kejati Jabar dan Jamwas di Kejaksaan Agung sama tapi beda.
Narasumber : Asep Muhidin (Penggugat)